Rerimbunan akasia dan kayu putih di mulut tambang batubara Airlaya
tampak basah oleh hujan yang baru saja reda. Sulit dibayangkan, bukit yang
menghijau itu dulunya adalah lubang tambang yang lebar dan dalam ibarat luka di
perut Bumi.
Kini, luka itu tak berbekas, tertutup oleh rerimbunan daun pepohonan
akasia dan kayu putih. Perusahaan tambang batubara negara, PT Bukit Asam Tbk,
mereklamasi lahan itu sekitar awal 1990 setelah eksploitasi usai.
Tak jauh dari sana, tambang Airlaya di Tanjung Enim, Kabupaten
Muaraenim, Sumatera Selatan, menyajikan pemandangan yang sangat berbeda. Sebuah
ceruk Bumi yang luas dan dalam menganga dengan luas 3.350,5 hektar dengan
kedalaman hingga 110 meter di bawah permukaan air laut. Demikian besar
dimensinya sehingga berada di dasarnya dengan dikelilingi mesin-mesin tambang,
yang juga berukuran raksasa, menimbulkan perasaan kecil dan tak berdaya.
Di kejauhan terlihat lapisan-lapisan batubara laksana emas hitam yang
belum juga habis ditambang selama 20 tahun, berselang-seling dengan lapisan
tanah coklat kemerahan. Ketebalan setiap lapisan bisa mencapai 8 meter. Eksploitasi
masih akan dilakukan di tambang ini hingga sekitar 10 tahun mendatang.
Seperti inilah kira-kira rupa bukit di kawasan tambang Airlaya PT Bukit
Asam lebih dari 10 tahun silam. Rumput pun akan sulit hidup dalam ceruk tambang
karena lapisan tanah di bawah permukaan sangat miskin unsur hara setelah
lapisan tanah permukaan (top soil) yang kaya hara itu dikuliti.
Sekretaris Perusahaan PT Bukit Asam Tbk Achmad Sudarto mengatakan,
reklamasi bekas tambang dilakukan dengan mengembalikan lapisan tanah permukaan
yang mengandung unsur hara. ”Pada awal penambangan, lapisan atas tanah itu
telah sengaja disimpan untuk ditutupkan lagi ke asalnya,” ucapnya, Senin (9/5).
Pupuk organik berisi mikroorganisme ditambahkan untuk meningkatkan
kesuburan tanah yang bisa jadi kehilangan kesuburan setelah bertahun-tahun
ditambang. Penghijauan bisa disamakan dengan menyembuhkan luka pada Bumi. Tak
bisa disangkal, kegiatan penambangan selalu diikuti kerusakan lingkungan yang masif.
Akan tetapi, reklamasi lahan yang dilakukan PT Bukit Asam membuktikan
bahwa kerusakan lingkungan itu bisa diminimalkan, bahkan mungkin dengan hasil
yang lebih baik. ”Dulunya, kawasan ini adalah lahan yang hanya ditumbuhi
alang-alang, tapi sekarang menjadi kawasan hutan,” katanya.
Bukit kecil di area basecamp PT Bukit Asam itu menjadi bukti bahwa
kegiatan penambangan dapat dilakukan dengan berwawasan lingkungan. Penghijauan
serupa telah dilakukan di beberapa lubang bekas tambang yang dieksplorasi badan
usaha milik negara dengan produksi 12,9 juta ton batubara itu pada tahun 2010.
Kesungguhan PT Bukit Asam dalam mengelola lingkungan pasca-penambangan
menghasilkan penghargaan tingkat nasional Proper Hijau dari Kementerian
Lingkungan Hidup karena dinilai telah berhasil menghutankan kembali lahan-lahan
bekas tambang. Bukit Asam juga mempunyai pusat pembibitan seluas lebih kurang 2
hektar. Pada 2008, BUMN yang mulai beroperasi sejak 1980 itu menerima
sertifikat manajemen lingkungan berstandar internasional ISO 14001:2004.
Biaya tinggi
Selain perencanaan matang, pengelolaan lingkungan pasca-penambangan ini
membutuhkan biaya tinggi. Untuk mendanainya, PT Bukit Asam menyisihkan Rp 4.200
dari setiap ton batubara yang diproduksi. Saat ini dana yang telah terkumpul
mencapai hampir Rp 200 miliar. ”Bukit Asam sudah mencanangkan penambangan
selaras lingkungan sejak sebelum 1990. Saat itu, isu lingkungan sangat kuat,”
kata mantan Direktur Utama PT Bukit Asam Ambyo Mangunwidjaya.
Sebuah rencana besar menutup luka Bumi tengah digarap Bukit Asam.
Lubang-lubang bekas tambang di Tanjung Enim akan disulap menjadi Taman Hutan
Rakyat Enim (Tahura Enim) dengan luas 5.394 hektar, meliputi 3.350,5 hektar
tambang Air Laya dan 2.044,1 hektar di bekas tambang Banko Barat. Rencananya,
Tahura Enim yang terdiri dari bumi perkemahan dan hutan wisata itu akan dapat
dinikmati tahun 2043.
Memang masih lama. Tambang Air Laya yang masih mengandung miliaran ton
batubara baru akan selesai ditambang sekitar 10 tahun ke depan. Lubang tambang
yang diperkirakan akan mencapai kedalaman 200 meter di bawah permukaan air laut
rencananya akan dibiarkan terbuka sebagian untuk membentuk danau buatan.
”Setelah kegiatan penambangan selesai, harapannya daerah ini tetap
terjaga kesuburannya. Hutan yang nantinya tumbuh diharap dapat menjadi pusat
kegiatan wisata. Kami tak ingin meninggalkan kota mati setelah penambangan
selesai,” kata Sudarto.
Penghijauan PT Bukit Asam adalah kisah manis di antara kisah-kisah pahit
mengenai pertambangan batubara. Masih banyak perusahaan penambangan batubara
yang belum peduli pada lingkungan. Mereka menggerus kulit Bumi dan membiarkan
luka terus menganga.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel,
selama tahun 2009 terdapat 229 kuasa penambangan (KP) batubara yang dikeluarkan
di seluruh wilayah Sumsel dengan luas mencapai lebih kurang 2,4 juta hektar.
Usaha penambangan batubara memang kian marak sejak otonomi daerah memberi
kewenangan pemerintah daerah menerbitkan KP batubara kepada swasta.
Kebijakan ini, kata Kepala Divisi Pengembangan Sumberdaya Organisasi
Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, sangat berbahaya bagi lingkungan. Dampak lingkungan
akibat kegiatan penambangan semakin sulit dikendalikan. Bahkan, beberapa KP
terbit tanpa melalui proses analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang
memadai. ”Sungai Enim telah tercemar, salah satunya karena limbah penambangan
ini. Belum lagi tanah yang tak bisa lagi ditanami,” katanya.
Selama ini, kegiatan pertambangan identik dengan kerusakan lingkungan. Telah
banyak kisah soal kota-kota mati setelah sumber daya alamnya habis ditambang.
Lubang galian ditinggalkan tak terurus dan daya dukung lingkungan yang rusak,
seperti air yang tercemar maupun tanah yang tak subur lagi. Kisah soal
masyarakat lokal yang kian miskin karena kehilangan daya dukung ekonomi setelah
lingkungannya rusak parah ditambang pun tak lagi asing di telinga.
Di satu sisi, penambangan menggerakkan roda perekonomian masyarakat.
Namun, tanpa pengelolaan lingkungan yang benar, kemilau tambang ini hanya akan
bertahan sesaat. Selebihnya, luka-luka Bumi akan membuat masyarakat semakin
merana. Meski belum sempurna, setidaknya sebuah bukit menghijau di Air Laya
menjadi bukti bahwa harapan penambangan yang lebih baik itu ada.
Sumber: http://regional.kompas.com/read/2011/08/12/04382891/Penghijauan.untuk.Menutup.Luka.Bumi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar